Sabtu, 21 Maret 2015

The Glass Shoes


Title: The Glass Shoes
Autor: Shin Tama
Length: oneshoot
Genre: romance
Cast: Suho (EXO)
Kim Seo Yeon (Miss korea 2014)

Meong...meong...meong....
            Suho keluar rumah, lalu  mencari-cari dari mana suara itu berasal. Berisik sekali. Ia jadi tidak fokus mengerjakan pekerjaannya. Jika makhluk itu sudah ketemu, ia akan mengusirnya dengan cara apapun. Memang kejam, tapi mau bagaimana lagi? Suara nyaring itu sungguh mengganggunya. Suho berhenti di dekat pohon besar. Jelas-jelas suara itu bersumber dari sekitar pohon besar itu. Namun ia tidak melihat makhluk itu. Ekornya sajapun, ia tidak lihat. Ranting kecil jatuh mengenai kepala Suho. Refleks ia mendongak ke atas. Takut-takut masih ada ranting yang akan jatuh lagi. Jadi ia bisa sigap menghindar.
Meong...meong...meong....
“ternyata kau disana?” kata Suho yang melihat kucing itu terjebak diatas pohon.
            Bagaimana Suho dapat mengusir hewan berbulu lebat itu? Ia sangat takut jika harus berkontak fisik dengan hewan itu. benyak orang yang mengatakan bahwa hewan itu lucu dan menggemaskan. Tapi tidak bagi Suho. Menurutnya, hewan itu adalah hewan yang mengerikan. Lebih mengerikan daripada seekor buaya yang sedang membuka mulutnya. Intinya, pria itu memiliki sejarah buruk dengan hewan yang disebut kucing.
“hey, apa yang kau lakukan? Kenapa diam saja?” kata seorang gadis yang tiba-tiba saja muncul dibelakang  Suho. “palli, tolong kucing itu!” lanjut gadis itu.
“aku tidak bisa.” Balas Suho.
wae?
“karena aku...aku....” ucap Suho terbata-bata karena malu mengakui jika ia takut dengan kucing. Jika gadis itu sampai tau, pasti dia akan menjadi bahan tertawaan.
“hah...jika kucing itu tidak cepat ditolong, maka ia akan jatuh.” Gadis itu menghembuskan napas berat, lalu segera memanjat pohon itu.
            Gadis itu membuat Suho mematung dengan tingkahnya. Tidak disangka, ada gadis semacam itu. Kukira semua gadis hanya bisa kesalon dan menghabiskan uang di mall. ternyata dia berbeda. Komentar Suho dalam pikirannya. Gadis itu dengan lincah menapakkan kakinya di dahan demi dahan pohon. Mata Suho tak dapat berkedip saat melihat gadis itu. Terselip rasa khawatir dalam hatinya. Beberapa menit kemudian, Suho dapat bernapas lega. Gadis itu berhasil membawa kucing itu turun. Syukurlah.

“apakah kucing ini milikmu?” tanya gadis itu setelah kakinya menginjak tanah.
“bukan.”
“ataukah kucing ini milik seseorang yang kau kenal?”
“bukan juga. Sepertinya itu kucing liar”
“kalau begitu, aku akan membawanya.”
            Sebuah mobil convertable putih berhenti didepan mereka berdua. Pengemudi mobil itu adalah seorang wanita yang terlihat lebih tua dari gadis yang berdiri di samping Suho.
“Seo Yeon-ah, kau kemana saja? Sejak tadi, aku mencarimu. Acaranya akan segera dimulai.”
Teriak wanita itu dari dalam mobil.
“oh tidak, aku terlambat.” Kata Seo Yeon setelah melihat jam tangannya.
            Seo Yeon bergegas masuk ke dalam mobil dan meninggalkan Suho yang masih berdiri dibawah pohon besar itu.
***

Dddrrrttt....dddrrrttt....dddrrrttt....
            Suara getar ponsel menderu berkali-kali. Namun, sang pemilik ponsel tersebut belum juga mengangkat panggilan itu. Di panggilang ke 8, pemilik ponsel tersebut baru menerimanya.
yeoboseyo.”
“yaaaa! Kim Seo Yeon....” teriak seorang wanita dari ujung sana.
            Seo Yeon langsung menjauhkan ponsel itu dari telinganya. Suara manajernya itu sangat nyaring. Ia heran, kenapa wanita itu bisa jadi manajernya. Wanita itu lebih pantas menjadi penyanyi seriosa, menurutnya.
 Menjadi model terkenal, tidak semudah orang-orang pikir. Ada kalanya masa-masa sulit itu datang. Sering kali ia kena omel manajernya karena tidak on time.ya, tidak mudah menghilangkan kebiasaan buruknya itu.
“tidak usah teriak begitu. Aku mendengarmu. Ada apa?” tanya Seo Yeon yang baru saja membuka matanya.
“apa kau lupa? Malam ini kau ada jadwal kompetisi model Korea.”
“astaga, aku ketiduran. kau tunggu saja. Aku akan segera kesana.”

            Seo Yeon melirik jam dingding. 30 menit adalah waktu yang tersisa untuknya untuk bersiap-siap. Ia berlari ke kamar mandi. 5 menit kemudian, ia keluar dari sana. Dengan langkah cepat, ia meraih baju yang telah disiapkan manajernya. Setelah selesai memakai baju, ia langsung melesat ke luar rumah. Tidak ada waktu untuk memakai make up dirumah. Akan menghemat waktu jika ia memakainya di mobil, pikirnya.
“taksi...mana taksi...” gumam Seo Yeon sambil menyisir jalan raya. “itu dia.” Seo Yeon berlari menuju mobil itu.
Ajusshi, cepat antarkan aku ke Yeouido.”
            Siapa yang dia sebut ajusshi? Memangnya aku tampak sudah tua. Gerutu Suho dalam hati. Ia memutar kepalanya untuk menegur orang itu bahwa ini bukan taksi. Ia memaklumi jika orang itu menganggap mobilnya taksi karena warna mobilnya memang seperti taksi. Tapi biar bagaimanapun, mobilnya bukanlah taksi. Jadi ia tidak bisa tinggal diam. Gadis itu...gumam Suho dalam hati. Ia kenal gadis itu. Seo Yeon, gadis pemanjat pohon.
Ajusshi, apa yang kau tunggu, ayo jalan!”
ye...”
            Di perjalanan, sesekali Suho melirik ke kaca sepion. Gadis itu tampak sibuk mengurusi dirinya sendiri. Menata rambut, memakai lipstick, menyapukan bedak, dan mempoleskan eyes shadow. Apakah gadis itu tidak sadar, jika dia berlari dan masuk ke mobilku tanpa alas kaki? Pikir Suho. Lucu sekali. Suho mengerem mobilnya di depan sebuah gedung yang menjulang. Ketika Seo Yeon hendak membayar ongkos transportasinya...suho menolak. Tentu saja, pria itu tidak dibayar untuk ini.
chwesonghamnida, aku sedang terburu-buru...jadi aku tidak menyadari jika mobilmu bukanlah taksi.” Ucap Seo Yeon sambil membungkukkan tubuhnya setelah mendengarkan penjelasan pria itu. Gadis itu lalu berjalan menuju lobi gedung itu.
“Seo Yeon-ssi....” panggil Suho.
            Langkah Seo Yeon terhenti. Darimana pria itu tahu namaku? Pikirnya. Ia memutar tubuhnya, lalu mendapati pria itu berjalan ke arahnya dengan membawa sepasang high hills.    Melihat sepasang benda itu, ia menjadi teringat sesuatu. Kakinya. Seo Yeon melirik kebagian bawah tubuhnya. Astaga, aku lupa memakai alas kaki. Kata Seo Yeon dalam hati.
“pakai ini, kau tidak mungkin berkeliaran tanpa memakai alas kaki bukan?” Suho menyodorkan sepasang high hills itu. “ini milik adikku. Aku rasa dia tidak akan keberatan jika aku menolong seseorang.” Lanjut Suho. Ia merundukkan tubuhnya untuk meletakkan high hills itu di depan sepasang kaki jenjang Seo Yeon.
“darimana kau tau namaku? Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”
“ya, aku adalah saksi saat kau memanjat pohon untuk menolong seekor kucing.”
“oh...aku ingat.” Balas Seo Yeon. “Maaf, aku harus segera pergi.” Sambung Seo Yeon.

            gadis itu melenggang masuk kedalam gedung setelah saling bertukar kartu nama dengan Suho. Seo Yeon berjanji akan mengembalikan high hills itu secepatnya. Suho tak beranjak dari sana sampai gadis itu benar-benar hilang dari pandangannya.
***

I lost my mind
Noreul choeummannasseultte
No hanappego modeun goseun Get in slow motion
Nege marhejwo ige sarangiramyon
Meil geudewa
Sumaneun gamjongdeureul lanwojugo bewogamyo
Ssaugo ulgo anajugo
Nege marhejwo ige sarangiramyon
            Suho bersenandung sambil memrapihkan meja kerjanya. Hari ini suasana hatinya sedang baik, didukung dengan cuaca yang cerah. Lengkap sudah. “kau lebih pantas jadi penyanyi, mengapa kau disini dan menjadi seorang dokter?” kata seorang pria yang tiba-tiba saja ada diruangan itu.
“Lay...kau mengagetkanku saja. Kenapa tidak mengetuk pintu dulu?”
“aku tidak mau mengganggu acara bernyanyimu itu.” Kata Lay yang masih menyandarkan tubuhnya di ambang pintu sambil menlipat kedua tangannya didepan dada.
“sejak kapan kau berada disini?” tanya Suho yang sedang duduk bersandar di kursi nyamannya.
“sejak kau mulai benyanyi, membereskan meja kerjamu, dan kau senyum-senyum sendiri. Sepertinya suasana hatimu sedang baik. Ada apa? Ceritakan padaku!”
“nanti akan kuceritakan. Sekarang aku lapar. Kajja, kita keluar untuk makan siang!” jawab Suho seraya merangkul pundak rekannya itu.
            Mereka menyusuri jalan setapak di antara keramaian kota. Mereka berniat mengisi perutnya di sebuah restaurant dekat rumah sakit. Langkah kaki Suho terhenti di depan sebuah bangunan berdiding kaca. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya, selain gadis itu. Namun masih ada kaitannya dengan gadis itu.
“kenapa berhenti? ayo jalan.bukankah kau lapar.”
changkkamanyo, aku ingin membeli sesuatu.” Jawab Suho, lalu masuk ke bangunan itu.
Lay membaca plang yang menempel dibangunan itu. “toko sepatu wanita...” dahinya mengkerut. Ia memutuskan untuk menyusul Suho. Ia menghampiri Suho yang sedang memandangi sebuah sepatu yang dipajang di etalase dekat pintu masuk.

“bagaimana menurutmu sepatu itu?” tanya Suho setelah Lay berada disampingnya.
“bagus. Untuk adikmu?”
“bukan.”
“....” Lay diam. Ia menunggu Suho melanjutkan kalimatnya. Pria itu sudah berjanji akan menceritakan semuannya padanya. Menurutnya, rekannya itu akan mulai bercerita.
“aku akan membelinya untuk seorang gadis.” Sambung Suho.
“sekarang aku tau alasannya kenapa kau terlihat begitu senang. Ternyata karena gadis itu. Apa yang membuat kau tertarik padanya?” Timpal Lay.
 “dia cantik...lebih cantik dari sepatu itu. Dia juga seorang model.” Ucapa Suho dengan mata yang tak lepas dari sepatu itu. “tapi, bukan itu yang membuatku tertarik padanya. Dia aneh, unik, dan ceroboh. Karena terlalu bersemangat mengurusi karirnya, ia sampai bertindak ceroboh. Aku suka itu.” Sambungnya.
“sebaiknya kau pertimbangkan lagi perasaanmu. Mungkin kemarin, hari ini, atau besok...gadis itu masih cantik. Bagaimana jika suatu saat nanti penampilan gadis itu berubah drastis, apakah kau akan tetap menyukainya?”
“jika itu terjadi, itu berarti cintaku sedang di uji.” Jawab Suho seraya melemparkan senyum termanisnya.
***
           
Suho melangkahkan kakinya secepat mungkin menuju ruang UGD. Ada pasien kecelakaan lalu lintas yang harus ia tangani dengan segera. Baginya...setiap detik yang berjalan sangat berharga. Semua jiwa berhak bersemayam di raganya. Itu sebabnya ia berada di sini, rumah sakit. Ia mengabdikan dirinya untuk memberi kesempatan bagi siapa saja yang masih mempunyai garis kehidupan di takdirnya. Tak ada kata menyerah dalam kamusnya. Ia akan berusaha sekeras mungkin. Itu adalah janjinya yang selalu ia genggam.
seonsaengnim, keadaan pasien sangat kritis.” Kata seorang suster.
            Suho mengenakan semua perlengkapak dokternya. Ia bersiap memeriksa pasien tersebut. “ Seo Yeon...” gumamnya. Mata Suho melebar. Ia sangat terkejut. Apa yang terjadi pada gadis itu? “siapkan ruang operasi, kita akan segera mengoprasinya.” Lanjutnya setelah memeriksa keadaan gadis itu.
***

“baiklah, saya akan menyebutkan siapa pemenang dari kompetisi ini. apa kalian siap mendengarnya?” kata pembawa acara dengan penuh semangat. Penonton membalasnya dengan tepuk tangan yang meriah. “pemenangnya adalah....”
Seo Yeon mencengkram gaunnya. Jantungnya berdegum sangat kencang. Tangannya dingin. “oh eonni, aku sangat gugup.” Adu Seo Yeon kepada manajernya. “tenanglah, berdoa saja agar namamu yang disebut.” Balas manajernya. Raut wajah Seo Yeon yang gugup tidak bisa disembunyikan. Ia sampai sulit bernapas karena tidak sabar untuk mengetahui siapa pemenangnya. Pembawa acara itu benar-benar membuatnya jengkel. Kenapa lama sekali? Dia malah mengulur-ulur waktu. Ingin rasanya ia berlari keatas panggung dan merebut amplop berisi nama pemenangnya.
“pemenangnya adalah Kim Seo Yeon.” Teriak pembawa acara itu.
            Gadis itu naik keatas pangung dengan hati yang ringan. Ia tidak dapat merasakan kakinya menyentuh lantai. Rasanya kebahagiaan telah membawanya terbang. Akhirnya ia naik satu tangga. Satu langkah lagi, impiannya akan benar-benar terwujud. Diakui sebagai model di kancah interasional adalah impian terbesarnya.
~skip~
gomawo mentraktir kami makan dan minum.” Kata manajernya, lalu memeluk artis kesayangannya itu.
“aish, sepertinya kau mabuk berat. Biar aku saja yang menyetir mobilnya. Berikan padaku kuncinya.”

            Percuma bicara dengan orang yang sedang mabuk. Seo Yeon merogoh saku jaket manajernya itu. Setelah menemukan apa yang ia cari, ia memapahnya ke dalam mobil. Seo Yeon berjalan memutari mobilnya menuju ke pintu pengemudi. Ketika hendak masuk, ia melihat sebuah mobil oleng kearahnya. Ia tidak punya cukup waktu untuk menghindar. Bemper mobil itu pun menghantam tubuhnya.
            Seo Yeon terbangun dari tidurnya. ia terduduk diatas tempat tidurnya. Keringat dingin mengalir dari pelipisnya. Ternyata kecelakaan itu hanya mimpi. Kata Seo Yeon dalam hati. Ia menyisir ruangan yang sedang ditempatinya. Rasanya ada yang berbeda. Tunggu dulu....ini memang berbeda. Ini bukan kamarnya. “ aahw...” ringis Seo Yeon. Ia menyingkap selimut yang menutupi kakinya. Mimpi itu memang nyata. Pikirnya. Ia terkejut saat melihat kedua kakinya dibebat.
***

Seo Yeon terduduk di sebuah kursi roda dengan pandangan keluar jendela. Sudah hampir seminggu ia mendekam di rumah sakit ini. kau harus beristirahat total selama 3 bulan. Ucapan dokter muda itu teringang-ngiang di telinganya. 3 bulan? Apa dokter itu bergurau? Kompetisi model internasional akan di gelar bulan depan. Apakah ia harus mengakui kecelakaan yang telah menimpanya ini?
“ini tidak mungkin.” Katanya dengan suara parau. Air matanya meluncur dipipinya yang tirus. Sulit dipercaya. Hanya tinggal satu langkah lagi menuju impiannya. Dan sekarang ia harus menerima kenyataan pahit bahwa ia tidak dapat ikut kompetisi bergengsi itu.
“Seo Yeon-ah, waktunya makan siang.” Kata Raina yang baru saja masuk bersama dengan seorang suster yang membawa senampan makanan.
“aku tidak lapar.” Balas  Seo Yeon tanpa mengalihkan pandangannya.
“kau harus makan agar kau cepat sembuh, cha...!”
PRAAAANG...
“sudah kubilang, aku tidak ingin makan.” Seo Yeon menepis nampan makanan yang disodorkan manajernya hingga nampan itu jatuh dan menghamburkan semua yang ada diatasnya. “makan atau tidak...tidak akan merubah segalanya. Aku tetap duduk di kursi roda ini.” sambunya lagi.
“kau hanya butuh waktu. Jadi aku mohon, jangan mempersulit dirimu sendiri.” Raina membungkuk untuk memeluk model asuhannya itu.
“tapi...impianku sudah kandas. Apa yang harus aku lakukan?” tangis Seo Yeon pecah dalam dekapan Raina.

“kau jangan khawatir, setelah kau sembuh...kita bisa menata karirmu dari awal lagi.”
“tapi aku sudah melangkah sejauh ini, hanya tinggal satu langkah lagi.”
***

            “kopi” tawar Lay seraya menyodorkan coffe cup kepada Suho.
            “terimakasih.” Suho menerima kopi tersebut.
Lay mengambil tempat di samping Suho. Akan menyenangkan jika mengobol di suasana taman seperti ini, pikirnya. “jadi, apa yang sedang kau lakukan disini? Tidak biasanya.” Lay membuka obrolan.
“aku sedang bingung.” jawab Suho setelah menyesap kopinya.
wae?”
“apa yang harus aku lakukan dengan sepatu itu.”
“...” lay tidak langsung menjawab. Ia mencoba memahami situasi dan membaca arah pembicaraan temannya itu. Ia menghembuskan napas berat, lalu berkata “tentu saja kau harus memberikannya kepada gadis itu.” Lay tersenyum yang menampakkan lesung pipinya itu.
“itu masalahnya....” balas Suho. “beberapa hari yang lalu, dia mengalami kecelakaan. Dia menderita osteomyelitis.” Lanjuutnya.
“apakah gadis itu dirawat dirumah sakit ini?”
“ya, dia pasienku. Namanya Kim Seo Yeon.”
osteomyelitis adalah penyakit yang sangat berbahaya. Dia bisa saja lumpuh.” Komentar Lay.
            Suho tahu itu. Gadis itu dalam masa sulit. Ia dapat merasakannya. Hatinya terasa sakit setiap kali ia melihat gadis itu menangis dikamar rawatnya. Ia berharap dapat melihat lagi senyuman di wajah gadis itu. Apapun akan ia usahakan agar raut kesedihan diwajah gadis itu lenyap. Cintanya benar-benar sedang diuji.
“Suho-ssi...apakah itu benar?” tanya seorang wanita.
            Merasa namanya dipanggil, Suho menoleh. Ia mendapati Seo Yeon tengah duduk dikursi rodanya dengan jarak yang tidak jauh dari tempatnya berada. Gadis itu pasti telah mendengar semuannya.
“kenapa kau diam saja. Jawab pertanyaanku! Apakah aku akan lumpuh selamanya?” sambung gadis itu dengan mata yang mulai merah dan berkaca-kaca.
“tolong dengarkan penjelasanku.” Respon Suho seraya menghampiri gadis itu. “setiap orang memiliki kesempatan untuk sembuh. Kau hanya perlu mengikuti terapi.” Kata Suho setelah berada tepat dihadapan gadis itu.
“itu berarti benar. Aku lumpuh.” Balas Seo Yeon dengan suara yang mulai melemah.
“bukan begitu. Maksudku....”
“percuma kau mengatakan itu kepada orang cacat. Aku tidak mau ikut terapi.” Sela Seo Yeon dengan air mata yang mengalir. “suster, tolong antarkan aku kekamarku.”
            Suho tak dapat mencegah gadis itu untuk pergi. Ia hanya bisa melihat gadis itu menjauh dari pandangannya dan menghilang di tikungan koridor. Kau boleh saja cacat. Tapi aku tahu...hatimu tidak cacat. Aku akan menunggu sampai saat itu tiba. Saat dimana kau menyadari bahwa hidup itu harus terus berjalan. Ucap Suho dari hati kecilnya.
***
           
            PRAAAANG....
Seo Yeon melemparkan sebuah vas bunga kaca ke ke tembok. Tidak hanya itu, semua barang yang ada di meja...ia raih dan melakukan hal yang sama seperti nasib vas bunga. Meskipun ia menghancurkan benda-benda yang ada di ruangan itu, tapi tetap saja rasa emosinya masih menggumpal. Apa lagi? Kemarin ia harus menerima kenyataan bahwa ia tidak bisa mewujudkan mimpinya. Sekarang? Haruskah ia menerima kenyataan jika kakinya tidak bisa digunakan lagi di runway? Besok? Apa lagi?
            Seperti bunga yang tumbuh di di tebing curam. Seo Yeon terbelunggu dalam sudut dunia yang gelap seorang diri dengan hati yang rapuh. Kapan saja angin bisa datang dan menerpanya sampai jatuh. Sejak kecil, ia sudah kehilangan kasih sayang seorang ibu. Takdir tidak mengizinkannya untuk bersama orang yang sangat disayanginya itu. Dan sekarang...ia harus bersiap untuk kehilangan Raina. Raina sudah seperti kakakya sendiri. Hanya dia keluarga yang ia miliki. Namun, Raina juga bukan wanita bodoh yang mau bekerja bagi gadis lumpuh yang tidak berguna. Seo Yeon tahu itu.
aigo... Seo Yeon-ah ada apa ini?” tanya Raina dengan ekspresi terkejut saat melihat kamar rawat Seo Yeon yang porak-poranda.
amugottoanieyo,hanya saja....aku....sedikit frustasi.” Jawab Seo Yeon terpotong-potong. “ah lupakan saja. Sekarang aku ingin menghirup udara segar diluar. Bisakah kau mengantarku ke atap gedung?” sambungnya.
“atap? Kita ke taman saja, eotte?”
“tidak mau.”
“hah...baiklah baiklah, kita keatap.”
            Raina menyetujui permintaan gadis itu. Ia tahu betul sikap Seo Yeon. Jika ada kenginannya yang tidak dituruti, maka dia akan uring-uringan. Dasar gadis keras kepala.
***

            Banyak orang berkerumun di depan gedung rumah sakit. Ada sesuatu yang menarik perhatian mereka.
“hey...nona, apa yang sedang kau lakukan disana?”
“ayo cepat turun!”
“kau bisa saja jatuh, cepat turun!”
Suara orang-orang itu saling bersahutan. Mereka meneriaki seorang gadis yang tengah berdiri dibibir atap gedung. Sepertinya gadis itu ingin bunuh diri, pikir mereka. Perhatian Suho juga tersedot. Ia menghampiri kerumunan orang tersebut, lalu melihat apa yang mereka lihat. Mata Suho membulat seketika. Ia sangat terkejut saat melihat seorang gadis yang ia kenal disana. Tanpa pikir panjang. Ia berlari menuju lift dan menekan tombol menuju lantai teratas dari gedung itu.
“Seo Yeon-ssi!” teriak Suho setelah sampai ditempat tujuan.
Gadis itu menoleh.
“menjauh dari sana! Kau bisa jatuh.”
“memang itu tujuanku. Hidupku sangat sulit. Tidak ada gunanya aku hidup.” Balas Seo Yeon
“jangan bicara begitu. Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Pikirkanlah baik-baik. Jangan seperti ini!”
“...”
“Seo Yeon-ah....!” teriak Raina yang baru saja datang.
            Perhatian Seo Yeon tertarik pada manajernya. Ini kesempatan bagi Suho. Suho melangkah cepat menuju bibir atap, lalu menarik gadis itu untuk menjauh dari kawasan berbahaya itu. Dapat. Suho merengkuh gadis itu. Tidak akan ia biarkan gadis itu melakukan hal bodoh lagi.
            Gadis itu meronta-ronta dalam dekapan tangan Suho. “lepaskan aku!” katanya dengan air mata yang mulai mengalir. Suho tak bergeming. Semakin gadis itu berusaha lepas darinya, semakin ia mempererat lingkar tangan di tubuh gadis itu. “tidak akan kulepaskan sampai kau berubah pikiran.”
            Tidak lama kemudian, datang dokter Lay dengan asistennya. Lay segera menyuntikkan obat penenang kepada Seo Yeon. Hanya itu satu-satunya cara untuk menenangkan gadis itu.
~di kamar rawat~
“maafkan aku dok, kami telah merepotkanmu. Ini semua gara-gara aku. Andai saja aku tidak meninggalkannya untuk membeli coffe cup, masalah ini tidak mungkin terjadi.” Ungkap Raina dengan penuh sesal.
“tidak ada orang yang selalu benar. Mulai sekarang, kau hanya perlu menjaganya. Jangan sampai hal seperti tadi terjadi lagi.” Balas Suho.
            Setelah membaringkan Seo Yeon dikamar rawatnya, Suho meninggalkan gadis itu dalam lelapnya. Obat penenang sangat berpengaruh ditubuhnya. Untuk sementara itu baik, gadis itu jadi punya waktu untuk istirahat dan melupakan sejenak permasalahannya.
***

            Seo Yeon melirik kalender. Tanggal 4 Februari. Waktu terasa lama sekali berjalan. Padahal baru 2 minggu ia masuk rumah sakit ini. tapi, rasanya sudah berbulan-bulan. Membosankan. CKLEK. Pintu kamarnya terbuaka. Ia melihat dokter muda itu dibalik pintu. Kenapa pria itu tidak pernah bosan? Sudah berulang kali ia katakan bahwa ia tidak ingin mengikuti terapi.
“jika kau kemari untuk menyuruhku mengikuti terapi...kurasa kau pasti sudah tau jawabanku.”
anieyo, aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Kau pasti bosan, bukan?” kata Suho.
Eodi?”
            Suho mendorong kursi roda Seo Yeon menuju lobi. Tidak ada penolakan dari gadis itu. Itu berarti dia memang sedang bosan, pikir Suho. terdengar suara riuh menyelubungi area lobi saat mereka memasuki area itu. Banyak pasien yang berkumpul ditempat itu.
“ada apa ini? kenapa ramai sekali?” tanya Seo Yeon
“hari ini adalah hari kanker sedunia. Pihak rumah sakit menggelar acara ini untuk menghibur para pasien disini, terutama mereka yang menderita kanker.” Jawab Suho. “bisakah kau tunggu disini, aku ingin ke tempat panitia, hanya sebentar saja.”
ye, pergilah.” Balas Seo Yeon.
           
Ia melihat pria itu berjalan menuju belakang panggung. Apa yang akan pria itu lakukan? Seo Yeon berada diantara pasien lainya yang sedang menikmati hiburan yang disuguhkan. Ada pertunjukkan sulap klasik, ada pertunjukkan menyanyi, ada pertunjukan drama dan berbagai permainan. Sekiranya daftar  acara itu yang ia tahu dari poster iklan yang membentang di dinding panggung.
            Mata Seo Yeon berkeliling area itu. Ia melihat banyak senyuman. Ia heran, mengapa mereka masih bisa tersenyum? Apa yang membuat mereka setegar itu? Sepengetahuannya, kanker adalah penyakit yang sangat mematikan yang ada di dunia ini. belum ada obat yang ditemukan untuk mengobatinya. Yang ada hanya obat untuk mengurai penderitaannya.
“hey nona...” panggil seorang wanita.
“apakah ajumma memanggilku?” tanya Seo Yeon kepada wanita yang ada disebelahnya.
“iya, kau.”
“ada apa?”
“apakah kau kekasih dokter Suho?” tanya wanita itu dengan penuh harap.
anieyo, aku adalah pasiennya. Memangnya apa yang membuatmu berpikir seperti  itu?” respon Seo Yeon.
“cara dia memandangmu dan cara dia bicara denganmu...sama dengan cara suamiku memandang dan bicara padaku.” Jelas wanita itu, wanita itu menghembuskan napas berat lalu melanjutkan “ternyata bukan  ya, sayang sekali. Padahal aku lihat, kalian sangat serasi. Kau gadis yang cantik dan dia pria yang tampan.” Tersirat raut kekecewaan di wajah wanita itu.
            Seo Yeon tersenyum samar. Tak banyak yang bisa ia katakan. Ajumma itu salah, pikirnya. Ia hanyalah seorang gadis cacat, sedangkan pria itu...ia memiliki tubuh yang sempurna dan sehat. Mana ada pria yang akan melirik gadis cacat sepertinya?
“ehem... annyeong haseyo. Chonun Suho imnida. Aku ingin menyanyikan sebuah lagu.” Kata Suho yang kini ada diatas panggung. “ lagu ini aku dedikasikan untuk kalian semua yang telah berjuang melawan penyakit yang bersarang tubuh kalian. Aku harap kalian dijauhkan dari rasa putus asa. Hwaiting!” Suho mengepalkan sebelah tangannya dan mengangkatnya sejajar bahu.

Machi amugeotdo moreuneun airo geureoke dasi taeeonan sungan gachi
Jamsi kkumilkkabwa han beon deo nun gamatda tteo boni
Yeoksi neomu ganjeolhaetdeon ne ape gidohadeut seo isseo
Dan han beonman ne yeoppeseo bareul matchwo georeo bogopa han beon,
ttak han beonmanyo
....
I’m eternally love
Neoui suhojaro jeo geosen barameul makgo
Ne pyeoneuro modu da deungeul dollyeodo
Hime gyeoun eoneu nal ne nunmeureul dakka jul
Geureon han saram deol su itdamyeon
Eodideun cheongugilteni

            Suara tepuk tangan mengakhiri penampilan Suho. pria itu membungkuk sebagai tanda terimakasih dan penghormatan. Setelah itu, ia kembali kebelakang panggung. Perhatian Seo Yeon kembali kepada wanita itu, setelah sebelumnya perhatiannya tertuju pada pria yang baru saja selesai bernyanyi di atas panggung.
“ehmm...Ajumma. apakah kau menderita kanker?” tanya Seo Yeon sedikit ragu.
“iya, kanker sumsum tulang belakang. Itu sebabnya aku duduk dikursi roda ini. apakah alasanmu duduk dikursi roda itu sama denganku?”
“tidak, aku tidak menderita kanker. Hanya saja....”
“syukurlah, kau beruntung karena tidak menderita penyakit terkutuk itu.” Potong wanita itu. “kau masih muda. Masa depanmu masih panjang. Jadi, jangan kau sia-siakan hidupmu untuk menyesali musibah yang menimpamu.” Sambungnya seraya membelai rambut panjang Seo Yeon.
“ehmm....boleh aku bertanya sesuatu?” tanya Seo Yeon
“ya, katakanlah!”
“apa yang membuatmu dapat bertahan sampai sekarang dan tersenyum dengan ringan? Seakan-akan kau tidak menganggap penyakit itu.”
            Wanita itu tersenyum setelah mendengar pertanyaan gadis muda itu. Seo Yeon tertegun saat melihat senyuman itu. Teduh. Wanita itu mengeluarkan selembar foto dari tas rajutnya. Kemudian memberikan foto itu kepada Seo Yeon dan berkata “alasan satu-satunya aku bertahan yaitu karena mereka.”
            Seo Yeon menerima foto itu dan mendapati sebuah keluarga besar disana. Ada seorang ayah, seorang ibu (yang diyakininya adalah wanita yang sekarang ini ada disebelahnya), satu anak laki-laki, dan dua anak perempuan.
“kewajibanku sebagai ibu belum selesai. Aku ingin melihat anak-anakku menikah. Aku ingin melihat anak-anakku mendapat kebahagian di kehidupan barunya. Dan aku sangat ingin menggendong cucu-cucuku.” Ungkap wanita itu. “jika itu semua sudah tercapai, aku tidak akan menahan rasa sakit ini lagi. aku rela jika tuhan mengambil nyawaku.” Kata wanita itu dengan berderai air mata.
            “bolehkah aku memelukmu? Kau mengingatkanku pada ibuku.” Tanya Seo Yeon meminta persetujuan. Wanita itu mengangguk dan membuka kedua tangannya. Dengan senang hati, Seo Yeon menyambutnya dan menghambur ke dalam pelukan wanita itu. Apa yang aku pikirkan selama ini? salahku selalu melihat keatas, sampai tidak menyadari bahwa ada orang yang memiliki nasib lebih buruk dariku. Jauh dibawahku. Kata Seo Yeon dalam hati. Ia merasa malu kepada dirinya sendiri. Padahal umurnya ½ dari umur wanita itu, tapi semangat wanita itu lebih besar dari dirinya. Ironis memang....
***
           
            “aku harap kau menikmati hiburan tadi. Aku pergi dulu.” Kata Suho setelah mengantarkan Seo Yeon ke kamar rawatnya.
            “Suho-ssi....
            “ya.” Suho menghentikan lagkahnya dan berbalik.
            “kapan aku bisa mulai terapi?”
            “....”
            Suho tertegun. Apakah ia tidak salah dengar? Mengapa ia berubah pikiran? Terselahlah. Yang jelas, ia senang mendengar gadis itu ingin mengikuti terapi. Itu berarti gadis itu masih punya semangat. Tidak ada alasan lagi baginya untuk mengulangi tindakan bunuh diri.
“Suho-ssi...” merasa pertanyaannya tidak ditanggapi, Seo Yeon memanggil pria itu.
“akan ku atur jadwalmu. Kau telah membuat keputusan yang benar. Itu bagus. Baiklah, aku harus menangani pasien lain.”
            “Suho-ssi...” panggil Seo Yeon lagi. Pria itu menoleh. “saat menyanyi tadi...suaramu bagus.” Lanjutnya. Pria itu membalasnya dengan lengkung manis dibibirnya.
            Seo Yeon teringat ucapan wanita itu.  Wanita itu benar. Biar bagaimanapun, ia harus tetap menjalani hidupnya. Selama ada keinginan, kesempatan itu pasti datang. Yang ia perlukan sekarang adalah usaha.
            Setiap kamis dan jumat, Seo Yeon rutin mengikuti terapi. Hari demi hari berlalu. Di bulan ke-2 sejak ia mengikuti terapi, keadaannya semakin membaik, ya walaupun kakinya belum bisa digunakan dengan normal. Tidak apa. Cepat atau lambat ia pasti akan bisa merasakan kakinya lagi. Rasanya tidak sabar menunggu saat itu tiba, saat dimana ia bisa menapakkan kakinya lagi. Jika saat itu tiba, orang yang pertama yang ingin diberiatuhunya adalah orang itu. Entah kenapa, ia ingin orang itu tahu setiap keadaannya.
***

 yeoboseyo.” Jawab Suho dari ujung sana.
“Suho-ssi, bisakah kau menemuiku sekarang?” tanya Seo Yeon.
“ya tentu, eodiya?”
“di ruang terapi.”
            TOK.... TOK.... TOK....
Suara ketukan pintu. pasti pria itu. Tanpa pikir panjang, Seo Yeon mempersilakan pria itu masuk. Ia melihat stetoskop masih tersangkut di lehernya. Dia pasti sedang sibuk. Seo Yeon jadi merasa tidak enak hati telah meminta seorang dokter untuk menemuinya di jam kerja sepert ini.
“bagaimana keadaanmu hari ini?”
changkkaman, tetap disana!” cegah Seo Yeon yang melihat pria itu hendak mendekat.
            Suho menatap gadis itu dengan tatapan bertanya. Kenapa? Apa yang akan gadis itu lakukan? Dengan perlahan Seo Yeon bangkit dari kursi rodanya. Masih terbesit rasa khawatir di hati Suho. apakah gadis itu yakin?
            Seo Yeon menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan cepat. Kakinya sedikit bergetar. Walaupun begitu, ia tidak ingin mengurungkan niatnya. Ia pasti bisa. Sudah banyak orang yang memberinya motivasi selama ini. termasuk pria yang ada dihadapannya sekarang ini. tidak akan ia biarkan mereka merasa kecewa. Ia mulai melangkahkan kakinya. Langkah demi langkah dengan berlahan.
“kau dapat melihatnya, bukan? Ini keadaanku sekarang.” Kata Seo Yeon setelah sampai di depan Suho.
“kau berhasil Seo Yeon-ssi.” Respon Suho dengan senyum mengembang. “tunggu sebentar, aku akan segera kembali.” Sambungnya, lalu pergi dari ruangan itu.
            Beberapa menit kemudian, Suho kembali dengan membawa sebuah kotak karton. Ia menghampiri Seo Yeon yang sedang duduk di kursi rodanya. kemudian berlutut di depan gadis itu. ia mengeluarkan sepasang high hills berwarna merah terang dengan hiasan manik-manik yang terbuat dari krystal.
“ini untukmu. Bolehkah aku memakaikannya?”
            Seo Yeon mengangguk, itu berarti iya. “kamsahamnida” lanjutnya kemudian. Manis sekali.aku merasa seperti cinderella dari negeri dongeng, pikirnya.
“Suho-ssi...” panggil Seo Yeon.
“ya.”
CUP.... Seo Yeon mendaratkan sebuah kecupan lembut di pipi pria itu.
~FIN~

            

Minggu, 08 Maret 2015

Love is Magic


Author : Shin Tama
Length : Oneshoot
Main cast : -Park Chanyeol (EXO)
-Yoo Rachel (The Heirs)
Genre : Romance, school-life

            “aku ingin putus!” kata Rachel kepada seorang pria yang ada dihadapannya. “mwo?kenapa? apa masalahnya? Kita baru saja memulai hubungan ini selama seminggu.” Balas Luhan dengan rentetan pertanyaan. Ia heran dengan keputusan yeojacingu-nya itu. Apakah ada yang salah dengannya? Selama ini ia selalu bersikap baik dan bertutur kata sopan kepada gadis itu. Lalu, apa yang terjadi? Seakan Rachel bisa membaca pikiran Luhan, lalu ia berkata “lebih baik kau tidak perlu tahu alasannya.”
“tidak bisa, kau tidak boleh mencapakan aku tanpa alasan yang jelas.”
“sejak awal aku tidak memiliki perasaan apapun padamu. Aku menerimamu sebagai namjacingu-ku karena aku ingin menghargai sahabatku yang sudah berusaha menjodohkanku denganmu. Jadi, kita putus saja.”
            Rachel menekan suaranya di kata ‘putus’. Kata tersebut senjata andalannya untuk mengakhiri sandiwaranya. Ia sudah tidak tahan lagi. Ia bukanlah artis yang pandai berakting. Ia hanyalah seorang gadis yang duduk di bangku SMA yang ingin memahami perasaannya sendiri. Biarlah hidupnya mengalir bagaikan air. Jika sudah saatnya ia menyukai seseorang , maka terimalah. Dan jika ia membenci seseorang, maka jangan memaksanya untuk menyukai orang itu, karena berpura-pura adalah perasaan yang sangat ingin ia hindari.
“hey...kau lebih kejam dari pemangsa berdarah dingin.” Komentar Luhan.
            Rachel menghentikan langkahnya. Ia mengurungkan niatnya untuk meninggalkan restaurant ala Italia itu. Pria itu sudah gila, pikirnya. Ia tidak terima jika harus disamakan dengan makhluk pemangsa. Kedengarannya kasar sekali. Rachel berjalan kembali meja yang sengaja dipesan Luhan untuk dinner. Ia meraih sebuah gelas berisi sirup berwarna merah, lalu menumpahkannya ke wajah Luhan. “sudah kukatakan: kau tidak perlu tahu alasannya. Tapi kau malah keras kepala. Jadi terimalah akibatnya.” Kata Rachel, kemudian pergi meninggalkan pria itu dengan sirup yang membasahi wajah dan mengotori kemeja putihnya.
***

            Uhuhkkk.... Uhuhkkk....
Krystal tersedak minumannya saat mendengar pernyataan sahabatnya. Saking terkejutnya, ia merasa tenggorokannya tercekat. Rachel menepuk-nepuk punggung  sahabatnya itu untuk mengurangi penderitaanya.
“kenapa kau putus dengan Luhan oppa ?”
“aku tidak bisa terus membohongi perasaanku. Aku tidak menyukainya.”
daebak....” balas Krystal dengan tatapan tak percaya. “apa yang salah dengannya? Bukankah kau tahu sendiri, siapa Luhan dan bagaimana dia.” Lanjutnya.
            Rachel menghembuskan napas berat. Ya, ia tahu siapa Luhan dan bagaimana dia. Bahkan semua wanita yang mengenalnya dapat melihatnya. Pria itu adalah ketua eskul band sekolah yang dikagumi banyak murid perempuan. Selain itu, banyak nilai plus yang dimiliki Luhan. Dia pintar, tampan, easy going dan populer. Namun semua itu, tidak menjadi jaminan untuk menarik perhatian Rachel. Seorang gadis angkuh yang tidak peka terhadap perasaan orang lain.
***

            Semilir angin menerbangkan ujung-ujung poni Rachel. Namun gadis itu sama sekali tidak tergangggu. Ia tetap fokus dengan kegiatannya. Setiap 2 menit sekali, Rachel membalik lembaran kertas yang telah disusun menjadi sebuah buku dengan judul sweet melody. Membaca novel dibawah pohon rindang dan ditemani juice cup rasa apel adalah kegiatan favorit gadis itu. Jika sudah begitu, maka ia akan terhanyut dalam zona nyamannya.
“ehmm....” Rachel mendongak setelah mendengar suara seseorang berdeham. Ia mendapati seorang pria yang memiliki rambut seperti landak, tengah berdiri dihadapannya dengan tangan yang disembunyikan dibalik punggungnya. “wae?” tanya Rachel. “ini untukmu.” Pria itu menyodorkan sebuket bunga anggrek yang di rangkai dengan indah.
            Rachel tidak langsung menerima pemberian dari teman satu angkatannya itu. Ia menatap pria itu dengan tatapan penuh tanya. Pria berpipi cuby yang biasa dipanggil Xiumin balas menatap Rachel dengan penuh harap. Andai saja Xiumin mempunya telekinesis power , mungkin ia bisa menjawab semua pertanyaan yang gadis itu lontarkan lewat tatapan matanya itu. Setelah Rachel bergelut dengan kebingungannya, ia memutuskan untuk menerima bunga itu. Tapi, kenapa bunga anggrek?
“boleh aku duduk?”
“tentu, duduklah.” Jawab Rachel seraya menggeser tubuhnya untuk memberi tempat kepada pria itu.
“apakah kau tahu filosofi dari bunga anggrek?”
anio.” Rachel menggeleng.
“bunga anggrek melambangkan kecantikan yang sempurna dan menurutku, kau seperti bunga anggrek itu, cantik dan sempurna.”
gomawoyo atas pujiannya.” Respon Rachel.
“kudengar, hubungannmu dengan Luhan sudah berakhir, apa itu benar?”
            Beritanya cepat sekali menyebar. Seperti wabah penyakit yang tidak dapat dihentikan. Rachel mengangguk lemah. Ia malas membahas Luhan, pria yang memiliki eksistensi tinggi disekolahnya. Ia rasa anggukkan kepala adalah jawaban yang paling efisien. “kalau begitu, apakah aku memiiki kesempatan untuk menjadi penggantinya?” sambung Xiumin. “....” lagi-lagi tatapan ituyang Xiumin dapat yang membuatnya mulai gelisah. Detik ini juga ia membutuhkan telekinesis power. Ia membawa tangan Rachel dalam genggamannya. “sejak aku mengenalmu, aku sudah tertarik padamu. Maukah kau menjadi pacarku?”
            Rachel menarik tangannya dari genggaman pria itu, lalu membalas pengakuan pria itu “aku tidak bisa, karena aku tidak  menykaimu, sejak dulu aku menganggapmu teman.”
***

“jadi, Xiumin pria yang keberapa?” kata Krystal sambil merangkul bahu Rachel.
“apa maksudmu? Tiba-tiba datang dan bertanya seperti itu?” balas Rachel seraya menurunkan lengan yang menggelayut di pundaknya.
“jangan berpura-pura tidak tahu. Tadi aku tak sengaja bertemu Xiumin. Dilihat dari ekspresi wajahnya, aku pikir ia sedang dia sedang kacau dan saat ditanya: ada apa? Dia menjawab: hatinya sedang kacau karena seorang gadis bernama Rachel.” Papar Krystal dengan nada bicara yang menuntut kebenaran.
“aku rasa, satu porsi bulgogi dapat membuatmu berhenti bicara dan menutup mulutmu. Kajja, aku yang traktir.”
            Krystal hanya mendengus jengkel lalu menyusul sahabatya yang jalan lebih dulu. Temannya yang satu ini memang pandai mengalihkan pembicaraan. Ia tidak mengerti jalan pikiran Rachel. Dari sekian banyak pria yang datang padanya, tak ada satupun yang ia terima. Kalaupun ada, hubungan mereka hanya berjalan seumur jagung.
“aku heran, kenapa kau mudah sekali mematahkan hati pria-pria itu? Sebenarnya, pria seperti apa yang kau sukai?” tanya Krystal sambil mengaduk-ngaduk bulgogi-nya.
“entahlah. Mereka sama saja. Aku merasa biasa saja saat didekat mereka.”
“asal kau tau, disekolah kita tidak ada namja seperti Daniel Radclife. Jadi, jaga standarmu itu.”
Rachel hanya membalasnya dengan senyuman ringan, lalu mulai melahap hidangannya.
***


            Rachel sudah jenuh dengan semua ini. ia tidak habis pikir, kenapa orangtuannya berpikir seperti anak kecil. Hal sepele saja bisa menjadi masalah besar. Telingannya bisa tuli, jika terus mendengar pertengkaran mereka. Bulir-bulir bening menetes dari pelupuk mata Rachel. Ia sangat takut. Ia tidak tahu, apakah ia bisa menanggung beban hatinya jika orangtuannya sampai berpisah.. Rachel meluapkan air matanya tanpa khawatir ada yang melihat. Menurutnya, tempat ini adalah tempat yang paling aman untuk menangis.
            “sedang apa seorang yeoja diatap sendirian?” suara seorang pria mengagetkan Rachel. Ia menoleh ke arah sumber suara dan berkata “kau tidak mengenalku dan akupun sebaliknya. Jadi kau tidak perlu tahukaren ini bukan urusanmu.” Pria itu tidak merespon statment Rachel. Ia malah berjalan mendekati gadis itu dan tanpa izin mengambil tempat disebelah Rachel. “aku tidak bisa berpura-pura tidak tahu, saat ada orang yang menangis dihadapanku.”          “lalu, kau mau apa?” tanya Rachel dengan alis terangkat.
            Pria itu melepas earphone yang menyakut dilehernya, lalu memakaikannya ke telinga Rachel. “cara ini selalu berhasil padaku, ku harap kau merasa lebih baik.” Ucapnya tanpa melepas tangannya di kedua sisi kepala Rachel. Rachel membeku. Tubuhnya tidak menolak saat sepasang tangan pria itu menangkup kepalanya. Hangat. Senyum pria itu tak pudar sedikitpun, walaupun Rachel bersikap acuh padanya. Pria aneh, pikir Rachel. Rachel mulai mendengar alunan musik dari benda yang bertengger dikepalanya itu. Aliran musik slow jazz memasuki gendang telinganya. Ia tidak tahu, jika mendengarkan musik bisa membuat suasana hatinya lebih baik. Selama ini ia sibuk dengan tumpukan buku, sampai-sampai ia tidak menyadari ada hal sederhana yang bisa membuat hatinya tenang.
            Pria itu menurunkan tangannya setelah merasa bahwa gadis itu mulai menikmati lagu Jason Mraz yang ia putar. “ini, hapus air matamu!” pria itu memberikan baju seragamnya. Rachel heran. Apa lagi ini? “karena aku tidak punya sapu tangan, jadi pakai saja ini.” lanjut pria itu. Baginya tak masalah meminjamkan baju seragamnya, toh ia masih menyisakan kaos oblong ditubuhnya.
            Rachel menerima seragam yang bertuliskan Park Chanyeol di name tag-nya. Dengan cepat, ia menghapus air matanya. Sungguh memaluka jika menangis didepan orang yang tidak dikenalnya.
“aku rasa, aku harus pergi.” Kata Chanyeol setelah melirik jam tangannya.
earphone dan bajumu?”
“nanti saja kau kembalikan itu, aku pikir kau masih membutuhkannya.” Chanyeol berdiri, lalu melangkah pergi meninggalkan atap gedung sekolahnya itu.
“Park Chanyeol!” panggil Rachel setelah membaca name tag dibaju pria itu. “kapan dan dimana aku bisa menemuimu?”
“diruang musik, aku selalu disana pada jam istirahat.”
***
            Aromanya masih melekat, walaupun Rachel sudah mencucunya. Ternyata pria itu memiliki selera yang bagus dalam memilih farfum. Rachel memasukkan baju dan earphone milik Chanyeol kedalam tas karton. Ia berniat mengembalikan benda-benda itu kepada pemiliknya.
“permisi.” Sapa Rachel sambil mengetuk pintu yang diatasnya terdapat papan berukuran kecil yang bertuliskan ‘ruang musik’. Chanyeol yang sedang mengatur senar-senar gitarnya refleks menoleh ke arah pintu.
“eoh? Gadis atap....” gumam Chanyeol.
“panggil aku Rachel. Aku kurang suka julukan itu.” Balas Rachel seraya berjalan menuju pria itu.
“oh, baiklah. Jadi, apa yang membawamu kemari?”
“kau lupa? Kau meminjamkanku earphone dan baju. Aku kesini untuk mengembalikannya.”
“oia, benar juga.”
“gomawoyo....” kata Rachel setelah menyerahkan tas kartonnya.
            Pandangan Rachel menyisir ruangan itu. Banyak sekali alat musik dengan berbagai jenis dan bentuk. Pandangannya berhenti disalah satu sudut ruangan. Ssebuah biola menarik perhatiannya. Seakan tahu apa yang Rachel lihat, Chanyeol mengambil biola tersebut, lalu menyerahkannya kepada gadis itu. “mainkanlah!” pinta Chanyeol. Rachel ragu apakah ia masih ingat bagaimana caranya mengalukan nada-nada dengan benda itu. Sudah lama sekali ia tidak menyentuh biola. Terakhir kali ia memainkan biola, saat ia duduk dibangku sekolah dasar.
            “aku tidak yakin akan mampu menghasilkan nada yang bagus.” Ungkap Rachel dengan jujur. “cobalah.” Tatapan itu....apa pria itu seorang ilusionis ? kenapa tatapan matanya membuat Rachel tidak bisa bilang ‘tidak’. Seolah-olah pria itu sedang menghipnotisnya.
~skip~

            Suara tepuk tangan Chanyeol menggema diruangan yang sunyi itu setelah Rachel berhenti memainkan jemarinya diatas dawai-dawai itu. Rachel memainkan instrumen sebuah lagu dengan sukses. Itu melegakan. Berarti kemampuan bermain biolanya masih ada.
“giliranmu!”
mwo?”
“nyanyikan sebuah lagu.” Pinta Rachel.
“geurae, aku tidak akan mengecewakanmu.”
            Chanyeol memangku gitarnya dan memposisikannya senyaman mungkin. Jemarinya mulai memetik senar-senar itu. Rachel menikmati permainan gitar pria itu. Melodi yang dihasilkan ringan dan enak didengar. Setelah hampir satu menit Chanyeol memainkan instrumen, ia mengeluarkan suaranya dalam bentuk lagu.
~skip~

eotte?” tanya Chanyeol setelah melakukan petikan terakhir di gitarnya.
joah.” Jawab Rachel seraya menganggukkan kepalanya. “lagunya enak didengar, apa judulnya?”
“lucky. Aku dan teman satu bandku yang membuatnya.”
“oh, jika aku ingin mendengarkan musik, bolehkah aku datang kemari?”
“tentu saja.” Balas Chanyeol sambil memamerkan deretan gigi putihnya.
            Dibandingkan mendengarkan musik lewat mp3 player, Rachel lebih suka mendengar dan melihat pria itu bernyanyi. Suara berat pria itu terasa akrab ditelinganya.
***
            Terik matahari pagi tidak mematahkan semangat murid-murid kelas XI-2 untuk melakukan olahraga. Sebenarnya Rachel tidak suka dengan pelajaran ini. melelahkan. Tapi apa boleh buat, mau tidak mau, ia harus mengikutinya karena ia tidak ingin mencari masalah dengar guru olahraganya yang bertubuh tinggi dan atletis itu. Setelah melakukan pemanasan selama 10 menit, mereka ditugaskan bermain permainan bola besar. Sepak bola, basket, atau voli.
“Rahel, ayo bermain voli?!” ajak Krystal.
“kau saja dengan yang lain. Aku sedang malas.” Tolak Rachel, lalu berjalan meninggalkan lapangan dan mengambil tempat dikursi panjang yang berada dipinggir lapangan. Ia lebih suka duduk sambil menonton teman-temannya bermain bola voli, basket, sepak bola, dan sebagainya. Menurutnya, risiko terkena lemparan bola dikepalanya akan lebih kecil.
            “Rachel...awas!” teriak seseorang.
DUG....saat Rachel menoleh, sesuatu yang keras menghantam kepalanya. Apa itu? Kejadiannya sangat cepat. Rachel tidak dapat menebak benda apa itu. Kepalanya terlalu pusing untuk berfikir. Pandangannya kabur. Tidak lama setelah matanya berkunang-kunang, semuanya terlihat gelap. Hitam.
            “oh tidak.” Gumam Chanyeol sambil meremas rambutnya. Ia segera berlari menghampiri Rachel yang jatuh pingsan karena ulahnya. Seharunya ia bisa mengontrol lemparan bola baseball-nya. Karena kecerobohanya, seseorang menjadi tak sadarkan diri. “Rachel...Rachel....ireona!” Chanyeol menepuk-nepuk pipi gadis itu. Dalam beberapa detik, teman-teman Rachel berkerumun di tempat kejadian dan bertanya-tanya mengenai keadaan gadis itu. “aku akan membawanya keruang kesehatan.” Kata Chanyeol seraya menggendong Rachel dengan ala bridal style.
Kesadaran Rachel tidak hilang sepenuhnya. Ia masih bisa merasakan seseorang mencengkram bahunya. Tubuhnya terasa melayang dan ia juga tidak dapat merasakan kakinya menginjak tanah. Rachel berusaha membuka matanya. Sangat sulit dan berat seperti ada perekat dimatanya. Walaupun begitu ia tetap mencobanya. Park Chanyeol...samar-samar ia melihat wajah pria itu. Rachel tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi ia merasa nyaman dengan posisinya sekarang. Ia berharap waktu berjalan 2 kali lebih lambat dari biasanya, agar ia bisa lebih lama merasakan perasaan ini. apakah ia sedang bermimpi?

~3 jam kemudian~
“Rachel ... kau sudah sadar?” kata Krystal sambil mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah gadis itu.
“apa yang terjadi?” Rachel mengerjap-ngerjapkan matanya.
Krystal menghembuskan napas lega. Syukurlah temannya sudah sadar.  
“tadi pagi kau terkena lemparan bola baseball.” Jelas Krystal.
mwo?”
Ternyata hipotesis Rachel salah. Ia kira dengan duduk manis dipinggir lapangan akan terhindar dari lemparan bola. Namun, tetap saja. Bola itu bisa datang kapan saja dan dimanapun tanpa diduga.
“lalu siapa yang membawaku kesini?”
“eoh? Itu....aku tidak tahu namanya, tapi aku tahu jika dia murid dari kelas IX-4.”
“bagaimana ciri-cirinya?” tanya Rachel penasaran.
“tubuhnya tinggi, kira-kira 185 cm dan matanya lebar. Apakah kau mengenalnya?”
            Rachel berpikir sejenak. Ia berusaha mencerna kalimat teman sebayanya itu. Apakah mungkin pria itu? Park Chanyeol? Tebak Rachel. Tapi...ia tidak bisa langsung menyimpulkannya begitu saja, karena saat itu pengelihatannya kabur dan kepalanya sangat pusing. Rachel mendekatkan wajah ke bahunya. Ia mencium parfum selain miliknya. Paefum ini...Rachel kenal bau parfum ini, milik Park Chanyeol. Jadi ini bukan mimpi.
“oia, dia bilang merasa sangat bersalah mengenai insiden ini. jadi dia berniat mengantarmu pulang.”
“....” Rachel tak berkomentar.
“itu dia sudah datang.”
            Rachel berpaling ke pintu dan melihat Chanyeol di sana. Ternyata memang dia. Setelah melihat pria itu datang, Krystal berpamitan untuk pergi. Katanya dia ada urusan. Itu takmasalah bagi Rachel karena ada Chanyeol yang akan menemaninya pulang.
“bagaimana keadaanmu?”
“sudah lebih baik, tapi apa yang harus aku lakukan dengan benjolan dikepalaku ini? ini sangat mengganggu.” Jawab Rachel sambil menunjuk dahinya.
“coba kulihat.”
            Chanyeol mengamati wajah Rachel. DEG...semoga saja pria itu tidak mendengar suara jantungnya yang bergemuruh, harap Rachel. Bagaimana tidak? Posisi wajahnya dan Chanyeol begitu dekat. Hanya beberapa senti saja. “setelah sampai dirumah, kau harus segera mengopresnya.” Saran Chanyeol. “n...ne...” turut Rachel sedikit terbata.
            Mereka meninggalkan ruang kesehatan , lalu berjalan menelusuri koridor. Tak ada percakapan yang terjadi selama mereka melewati setiap koridor yang ada di gedung sekolah itu. Barulah, setelah mereka menginjakkan kaki di halte bus, Chanyeol membuka obrolan.
mianhaeyo...aku merasa sangat bersalah padamu.” Ungkap Chanyeol dengan nada rendah.
Gwaenchana, kau pasti tidak sengaja.”
“aku bingung, apa yang harus aku lakukan untuk menebus kesalahanku?”
“jadilah pacarku?!” balas Rachel dengan pandangan lurus menatap mata pria itu.
“eoh? Jangan bercanda! Pasti terjadi sesuatu dengan kepalamu, gagar otak atau semacamnya. Mengingat lemparan bolaku cukup keras menghantam kepalamu.” Chanyeol terkekeh mendengar penuturan Rachel.
“aku serius.” Tak butuh waktu lama bagi Rachel untuk mengucapkan kalimat paten itu.
            Chanyeol terdiam. Sepertinya gadis itu tidak sedang bercanda. Terbukti dari caranya menatap Chanyeol dan gaya bicaranya yang terkesan apa adanya. Eottokhae? Desah Chanyeol dalam hati. Kenapa mendadak sekali. Ia bahkan belum bisa memahami perasaannya. ‘Saat kau tidak bisa membaca pikiranmu dan tidak dapat memahami perasaanmu, kau hanya perlu mengikuti kata hatimu.biarkan nalurimu yang memutuskan.’ Kalimat yang diucapkan ibunya, tiba-tiba saja melintas dipikiran Chanyeol. Baiklah. Ia sudah menemukan jawabannya. Chanyeol menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan cepat. Setelah merasa sudah siap. Ia balas menatap gadis itu.
“aku....”
***

pabo...pabo...pabo...” tutur Rachel sambil menghadap dingding dan menempelkan dahinya berulang-ulang. Ia mengutuk dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia mengatakan kalimat itu kepada Chanyeol? Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutnya tanpa bisa dicegah. Bahkan otaknyapun belum mengonfirmasi.
“eoh....ommona, apa yang kau lakukan? Kau bisa saja meruntuhkan rumah ini.” pekik Krystal yang baru saja masuk kekamar Rachel dan melihat gadis itu sedang membentur-benturkan kepalanya ke dingding. Kelihatannya memang tidak keras, tapi tetap saja, lama-lama akan terasa sakit. Rachel melirik sekilas ke arah temannya itu, lalu bergumam pelan “kau berlebihan.” Ia tidak tahu kapan Krystal menerobos masuk rumahya dan masuk kekamarnya. Hah...Rachel tidak punya cukup ruang diotaknya untuk memikirkan hal lain, terkecuali pria itu. Saat ini Park Chanyeol tengah merajai setiap ruang dalam dirinya. Hati dan pikirannya.
“ada apa denganmu? Kau tampak kacau.” Krystal meninggalkan bingkai pintu, lalu menghampiri Rachel dengan 2 gelas k-drink yang memenuhi kedua tangannya. Rachel menerima k-drink yang disodorkan Krystal, tapi ia malah meletakkannya di atas nakas tanpa menyesapnya sedikitpun. Krystal benar, ia merasa sangat kacau. Tiba-tiba saja ia menjadi malas makan dan minum. Rachel memandang pantulan dirinya dikaca meja rias. Ia meringis pelan saat lingkaran hitam dibawah matanya. Sungguh, ia tampak seperti vampire yang terjaga sepanjang malam. Mengerikan. Rachel menghela napas berat.
“aku ditolak oleh namja.” Pengakuan Rachel.
Uhukkk.... Uhukkk.... Uhukkk....
            Krystal menyemburkan minuannya yang belum sempat ia telan dan menyisakan butiran bubble yang tersangkut ditenggorokannya. Gadis bernama lengkap Yoo Rachel itu sukses membuatnya tercengang.
“kenapa kau suka sekali membuatku tersedak eoh?”
“salahmu minum didepanku.” Celetuk Rachel.
“baiklah. Mulai sekarang aku tidak akan makan dan minum dihadapanmu lagi. Aku khawatir tidak bisa bernapas lagi karena tersedak.” Sebenarnya ia tidak mempermasalahkan hal ini, hanya saja Krystal sudah jengah dengan sikap temannya itu yang memberitahu sesuatu disaat yang tidak tepat.
            Rachel mengabaikan ocehan temannya itu. Ia menjatuhkan tubuhnya di ranjang empuknya tepat disebelah Krystal. Rasanya ia ingin membenamkan tubuhnya di ranjang kesayangannya di sepanjang hari ini. entah kenapa, tubuhnya enggan diajak kompromi untuk melakukan sesuatu yang seharusnya dikerjakan.
geunde, siapa namja buta yang menolak cintamu?” tanya Krystal setelah puas dengan ocehannya.
“dia tidak buta!” sanggah Rachel dengan cepat.
“aish...aku tahu itu. Aku hanya mengibaratkannya saja. Kenapa kau mendadak bodoh seperti ini.” Krystal mendecakkan lidahnya seraya menggelengkan kepala. “kau cantik, pintar, dan berbakat. Lalu kenapa dia menolakmu?”
mollayo...”
***

            Hari minggu pagi yang cerah bagi keluarga Park. Tuan Park sedang fokus membaca koran dan sesekali membalik halamanya. Tidak jauh dari posisi tuan Park, ada nyonya Park yang sedang menyiram bunga tulip koleksinya. Berpindah ke dalam rumah, anak sulung keluarga Park-Yoora, tengah heboh mengomentari barang-barang di situs belanja online. Sesekali ia berteriak meminta pendapat ibunya mengenai barang mana yang pantas untuk dibeli. Mereka sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing sampai tidak menyadari bahwa anak bungsu keluarganya-Chanyeol, sedang mondar-mandir seperti orang linglung. Tidak ada bedanya dengan seekor anak ayam hilang yang sedang mencari induknya.
            Chanyeol berlabuh diruang keluarga. Mungkin dia lelah. Tanpa ia sadari dan tak seorangpun tahu, ia sudah mengitari setiap sudut ruangan dirumahnya. Ini konyol. Ya, ia tahu itu. Tapi, kenapa ia tetap melakukannya? Entahlah. Chanyeol merasa ada yang hilang. Bukan benda ataupun hewan peliharaan. Tapi sebuah kebiasaan. Biasanya ia mengisi hari liburnya bersama Dara. Bogoshipo. Kata Chanyeol dalam hati. Lagi-lagi ia mulai bosan. Chanyeol beranjak dari sofa ruang keluarga dan berjalan gontai menuju kamarnya. Ia menurunkan sebuah kotak karton berukuran sedang, tidak terlalu kecil dan sebaliknya. Ada banyak benda didalamnya. Jika melihat benda-benda itu, chanyeol jadi semakin rindu kepada gadis itu. Dara tega sekali, dia pergi dari hidupnya dengan meninggalkan banyak kenangan manis yang menurutnya sukar untuk dilupakan.
            CKLEK....
Pintu kamar Chanyeol dibuka dari luar.
“hey, apakah kau melihat sepatu kets berwarna biru punyaku?” tanya kakaknya yang tiba-tiba datang tanpa mengetuk pintu.
anio.”
Yoora melirik tangan Chanyeol yang dia sembunyikan dibelakang punggungnya.
“apa yang sedang kau sembunyikan di balik punggungmu?” tanya Yoora curiga.
amugeotdoanya.” Jawab Chanyeol cepat.
jinjja?”
ya, sana kau lanjutkan saja pencarianmu!”
            Bukannya menuruti ucapan Chanyeol, Yoora malah mendekatinya. Pasti ada yang pria itu sembunyikan. Sangat terlihat dari ekspresi wajahnya bahwa adik dari Yoora itu tidak pandai berbohong. “kau jangan coba-coba membohongiku. Tertulis jelas didahimu ‘aku sedang berbohong’ “ Yoora mendecakkan lidahnya.
            Chanyeol menelan ludah. Ia sudah tertangkap basah sedang berbohong. Mau tidak mau, ia harus memberitahu kepada kakak perempuannya yang selalu ingin tahu itu. Tindakan bodoh jika berbohong kepada anggota keluarganya. Chanyeol menyerahkan selembar foto kepada Yoora. Sungguh, ia tidak ingin mendengar komentar pedas yang akan dilontarkan ketika melihat foto itu.
“aish.... kau masih menyimpan foto gadis ini?”
“....” Chanyeol tak berkomentar.
            Dari awal Yoora memang tidak setuju hubungannya dengan Dara.
“dia sudah mencampakanmu. Jadi untuk apa kau masih mengingatnya.” Yoora mendengus kesal.
“terserah apa katamu, aku masih sayang padanya.” Akhirnya Chanyeol angkat bicara.
“kau tak pantas menyayangi yeoja yang sudah mengabaikanmu. Carilah yeoja yang bisa menghargaimu dan semua yang kau miliki.” Timpal Yoora.
            Yoora meninggalkan Chanyeol bersama kenangannya setelah ia menyampaikan beberapa patah kata yang berisi wejangan kepada adiknya itu. Melupakan? Bicara memang mudah. Sandara. Gadis itu telah mengajarkan banyak hal penting yang tak pernah Chanyeol ketahui dan tak pernah terjamah. Bahagia, sayang, dan cinta. Semua perasaan itu, ia dapat pertama kali dari gadis itu. Itu sebabnya ia belum bisa menerima wanita manapun.
***

            Rachel mengetuk-ngetukkan ujung sepatunya ke lantai. Pandangannya lurus kebawah. Namun ia tidak benar-benar memperhatikan sesuatu. Bisa di katakan pandangannya kosong. Aku tidak bisa. Bukan berarti aku membencimu. Hanya saja....ada alasan lain. Mian.... suara Chanyeol teringiang-ngiang ditelinganya. Jleb. Rasanya sakit sekali. Rasanya seperti tertikam bumerang yang ia lempar sendiri. Apakah ini hukuman untuknya? Rachel kerap kali mematahkan hati pria, memutus hubungan tanpa alasan yang jelas dan mengabaikan perasaan pria. Inikah balasan untuknya? Oh, kini ia merasakan apa yang mereka (pria-pria itu) rasakan. Tapi, apakah semenderita ini?
            Mata Rachel mulai panas. Sedetik kemudian, air matanya jatuh. Tergelincir dipipinya Tanpa ia sadari. Yang benar saja? Rachel menangis? Karena pria? Sepertinya sejarah baru telah tercatat. Daebak. Kata Rachel dalam hati. Bisa-bisanya Chanyeol menarik perhatiannya, membuatnya nyaman, dan sekaligus membuatnya patah hati. Ini konyol. Hidupnya seperti lelucon. Chanyeol juga telah menciptakan sayap untuk terbang setinggi mungkin, ketia ia sudah di puncak tertinggi....pria manis berhati dingin itu tiba-tiba mencabut sayapnya dan menghempaskannya ke dasar bumi terdalam. Bisa jadi hatinya sekarang, layaknya kepingan puzzel yang berserakan dipadang pasir.
            Rachel mengangkat earphone dilehernya. Ia memutuskan untuk mendengarkan beberapa lagu, daripada terus terngiang suara pria itu, lebih baik ia menjejali telinganya dengan lagu-lagu yang menurutnya cukup menghibur. Perlahan kelopak mata Rachel tertutup. Ia mencoba untuk menghayati setiap syair lagu yang ia dengar, menyatu dengan lagu dan melupakan sejenak beban hatinya.
“Yoo Rachel.” Samar-samar terdengar suara seseorang yang memanggilnya. Tunggu dulu...suara itu...Park Chanyeol. Rachel membuka matanya dengan cepat. “tidak ada siapapun” gumamnya setelah membuka mata. “Rachel-ah.” Panggil pria itu lagi. Tapi kali ini ia merasakan sesuatu menyentuh bahunya. Refleks ia menoleh ke samping. Matanya membulat ketika melihat Chanyeol disebelahnya dengan tangan pria itu berpangku dibahunya. Apa yang sedang Chanyeol lakukan disini? Jangan-jangan atap gedung sekolah ini adalah tempat persembunyiannya juga, seperti yang dilakukan Rachel selama ini.
Rachel mengerjapkan matanya. Ia tersentak.tidak ada Chanyeol disebelahnya. Lalu, yang tadi itu apa? Halusinasi? Tapi, kenapa begitu nyata? “oh astaga, sadarlah Rachel! Kau telah ditolak. Berhntilah mengharapkannya. Kenapa kau malah semakin menginginkannya. Ini tidak benar.” Rachel menasehati dirinya sendiri sambil menepuk-nepuk pipinya.
***

“apa yang sedang namja itu lakukan disana?”
Rachel melihat Chanyeol sedang berjongkok di depan semak-semak dekat gerbang sekolah. Ingin rasanya ia menghampiri pria itu, bertanya atau sekedar menyapanya. Namun ada secercah perasaan yang menahannya. Jika kau mengsurvei seratus orang, lalu bertanya: apa yan anda lakukan jika bertemu seseorang yang telah menolak cintamu? Jawaban terbesar pasti: mencoba menghindarinya sebisa mungkin. Tapi Rachel mencoba membantah presepsi itu. Setelah berpikir keras, Rachel menemukan sebuah prinsip: karena pria itu, ia mengesampingkan harga dirinya. Ia sudah nekad mengakui perasaannya dihadapan Chanyeol. Sekarang wajahnya seperti tembok yang tidak mengenal rasa malu. Jadi, untuk apa ia menghindari pria itu. “joah, aku akan kesana.” Kata Rachel kepada dirinya sendiri.
            Chanyeol menyingkap semak-semak dengan menggunakan ranting pohon. Ia ingat betul tempat terakhir kali ia lewati adalah tempat ini. pasti benda itu jatuh disekitar sini. Chanyeol yakin itu, karena ia sudah mencarinya ditempat lain yang pernah ia kunjungi, tapi hasilnya nol besar. Harapan terakhirnya adalah tempat ini. ia harus menemukannya. Jika tidak? Ia akan dihabisi ayahnya. Jangan sampai benda itu hilang tanpa jejak. Benda itu adalah benda turun-temurun dari garis keluarganya. Eodi?
“apa yang sedang kau lakukan?”
            Jantung Chanyeol seperti melompat dari tempatnya. Ia sangat terkejut mendengar suara Rachel. Gadis itu datang tanpa suara sedikitpun dan tiba-tiba saja Chanyeol mendapati gadis itu ada dibelakangnya. Untung saja Chanyeol tidak memiliki sejarah penyakit jantung.
“kau mengagetkanku saja, kukira hantu.”
“mana ada hantu secantik aku.” Rachel mengerucutkan bibirnya. Enak saja disebut hantu, ia tidak terima.
“syukurlah jika bukan. Aku paling benci makhluk melayang yang disebut hantu.”
“benci atau takut?” goda Rachel.
“ah itu sama saja.”
“jadi, sedang apa kau disini?”
“aku sedang mencari barangku yang hilang.” Jawab Chanyeol setelah detak jantungnya kembali stabil.
“bentuknya seperti apa? Barangkali aku pernah melihatnya disuatu tempat.”
“sebuah kalung yang terbuat dari emas putih dan ada liontin berbentuk segi 6.”
Rachel mengangguk pelan. “aku belum pernah melihatnya, tapi aku akan membantumu mencarinya.”
“tidak usah, hari sudah semakin gelap. Kau bisa terlambat datang ke rumah. Jika itu terjadi, orangtuamu pasti khawatir.”
Gwaenchana, aku tidak bisa membiarkanmu disini sampai pagi. Jadi, kajja kita cari bersama saja.” Kata Rachel yang diakhiri dengan senyum penyemangat.
            Mereka mulai menyelisik setiap celah ditempat itu. Chanyeol masih mencarinya di tempat sebelumnya. sedangkan Rachel berinisiatif mencarinya disekitar pagar sekolah yang letaknya tidak jauh dari Chanyeol berada.
“apa yang akan terjadi jika kita tidak menemukan kalung itu? Tanya Rachel disela pencariannya.
“bagaimanapun caranya, kalung itu harus ditemukan karena kalung itu sangat berharga bagiku dan keluargaku.”
Rachel hanya mengangguk. Menurutnya, jawaban Chanyeol cukup jelas, itu berarti ia harus melanjutkan pencariannya.
“aku menemukannya!”  teriak Rachel sambil mengacungkan sebuah kalung yang ciri-cirinya sama dengan yang dikatakan Chanyeol.
            Mata Chanyeol berbinar seketika. Akhirnya benda itu ditemukan. Ia dapat bernapas lega sekarang.ancaman diusir dari rumah, lenyap sudah dari benaknya. Tanpa Rachel ketahui, ada seorang pria berpakaian serba hitam dan memakai topi berjalan mendekatinya. Dengan gerakan cepat, pria itu meraih kalung yang menggantung ditangan Rachel. Rachel tersentak saat menyadari benda yang ada dalam genggamannya telah berpindah tangan. Ia panik dan hanya bisa berteriak. “pencuri! Hey...berhenti kau!” telunjuknya mengarah ke si pencuri yang melarikan diri.
            Chanyeol segera berlari mengejar pria itu. Rachel yang melihat Chanyeol berlari, memutuskan untuk membuntutinya. Setelah cukup jauh mereka berlari. Chanyeol berhenti. Dadanya sesak, rasanya sulit untuk bernapas. Ia tidak kuat lagi berlari.berbeda dengan Rachel. Gadis itu masih punya energi untuk mengejar si pencuri sialan itu. Sehingga ia mendahului Chanyeol dan meninggalkannya jauh dibelakang. Jangan sampai ia kehilangan jejak. Chanyeol tidak tinggal diam, ia segera menelfon polisi dan melaporkan tindakan kejahatan yang telah menimpanya.
            Ayolah, sedikit lagi. Jarak antara Rachel dengan si pencuri semakin sempit. Pria itu tidak menyangka bahwa gadis remaja itu sanggup berlari sejauh ini. rachel berhasil meraih kupluk jaket pria itu, dengan tenaga yang tersisa, ia menariknya sampai pria itu terjungkal kebelakang. Sukses. Tanpa buang waktu lagi, Rachel merampas kalung itu. Pada detik itu juga, Chanyeol datang bersama polisi. Pencuri itu panik bukan main. Ia mendorong Rachel yang masih mencengkram bajunya. Seketika Rachel tersungkur ke aspal yang kasar. Setelah pria itu mencelakai Rachel, ia berlari lagi untuk menghindari kejaran polisi. Aksi kejar-kejaranpun terjadi antara si pelaku pencurian dengan 2 petugas polisi setempat.
gwaenchana?” tanya Chanyeol seraya membantu Rachel bangun.
gwaenchana.” Balas Rachel dengan memaksakan seulas senyum. “ini dia, aku mendapatkannya.” Rachel menunjukkan kalung itu.
            Chanyeol melirik siku gadis itu. Sikunya terluka. Pantas saja Rachel tampak menahan sakit. Ternyata ia sedang menyembunyikan lukanya.
“jangan sebut dirimu baik-baik saja. Lihat ini...kau terluka!” Chanyeol mengangkat lengan Rachel dan menunjukkan lukanya.
“sudahlah, ini hanya luka kecil.” Rachel melepaskan diri dari cekalan tangan pria itu. Andai saja kau tahu, Park Chanyeol. Luka yang disebabkan pencuri itu tidak menyakitkan jika dibandingkan dengan luka yang kau torehkan dihatiku. Suara hati Rachel.
“kau jangan menganggap enteng segala sesuatu yang kecil. Bagaimana jika pencuri tadi membawa belatih, pistol, atau benda berbahaya lainnya? Kau bisa saja terluka lebih parah daripada ini. kenapa kau tidak biarkan saja pria itu pergi? Kenapa kau malah mengabaikan keselamatanmu eoh?” tutur Chanyeol tanpa jeda.
            Apakah Chanyeol sedang mengkhawatirkan Rachel? Oh, jangan terlalu berharap Rachel! Khawatir bukan berarti dia juga memiliki perasaan suka padanya. Ia bingung. harus menjawab pertanyaan yang mana. Pertanyaan yang diajukan pria itu terlalu banyak.
“sesuatu yang kau anggap berharga....menurutku juga begitu.” Hanya kalimat itu yang terlintas dipikiran Rachel. Random bukan?
***

            ~oh du du du du ooh~ yeah~
            Banjjak jjalbge bichnasseossdeon haengboy
            Soge chwihae jeo gieogui biche
            Jamkkan nuni meoreossnabwa....
yeoboseyo.” Nada dering ponsel Chanyeol berhenti setelah ia menggeser tombol hijau dilayar ponselnya.
“yeol-ie...hiks...hiks...” terdengar suara isak tangis dari sebrang sana.
“kenapa kau menangis? Apa yang terjadi?....emm baiklah, aku akan segera kesana.” Chanyeol memutus sambungan telfonnya setelah ia mendapat jawaban dari semua pertanyaannya.
~skip~

            Chanyeol menuruni anak tangga dengan pandangan yang menyisir aula teater Nanta. Tempat itu tampak kosong melompong. Pertunjukkan baru akan dimulai 3 jam lagi, tapi kenapa gadis itu memintanya kemari sekarang? Dan yang membuat Chanyeol cemas adalah gadis itu berbicara sambil menangis.
            “Dara-ya....” panggil Chanyeol setelah berhasil menemukan gadis itu. Dara terduduk di kursi tengah barisan paling depan. Gadis itu langsung menghambur ke dada bidang Chanyeol dan melingkarkan tangannya di pinggang ramping pria itu. “namja itu brengsek, dia telah membohongiku.” Adu Dara dengan suara yang bergetar karena menahan isaknya.
            Namja itu...pria yang telah merebut Dara dari Chanyeol. Berani-beraninya dia membuat Dara menangis. Chanyeol mendekap punggung gadis itu dan menepuk-nepuknya pelan. Ia paling tidak tega jika ada wanita menagis di depan matanya. Apapun akan Chanyeol lakukan, asalkan tangis itu reda.
            Mereka menyusuri taman, lalu berhenti disebuah jembatan yang dibawahnya terdapat genangan air tenang atau biasa disebut ‘danau’ berukuran sedang. Air wajah Dara mulai membaik. Setidaknya air mata itu berhenti mengalir. Itu semua berkat Chanyeol. Pria itu tahu betul bagaimana caranya membuat Dara tersenyum, bahkan membuatnya tertawa terbahak-bahakpun...Chanyeol dapat melakukannya.
            KRING....KRING....KRING....
sebuah sepeda melaju kencang melewati jembatan. Spontan, Chanyeol menarik lengan Dara yang berdiri agak ditengah jembatan. Dara yang kehilangan keseimbangan, jatuh kedalam pelukan Chanyeol dan berpegangan ke kerah kemeja Chanyeol. Mereka tersungkur ke bibir jembatan. Beruntungnya, mereka tidak jatuh ke danau. Dara melepaskan napas lega. Hampir saja ia menjadi korban pengendara ugal-ugalan itu.
            PLUNG....
Suara tumbukan benda dengan air. “apa itu yang jatuh?” tanya Dara yang menyadari ada benda jatuh ke danau. Sepertinya benda itu milik salah satu dari mereka. Chanyeol meraba lehernya. Tidak ada. Kalung itu tidak ada dilehernya. Jangan-jangan....Chanyeol melongok ke bawah jembatan dengan tatapan tidak percaya. Jangan katakan jika kalungnya tertelan danau itu.
“itu kalungku, pasti terjatuh saat kau menarik kerah bajuku.” Chanyeol berlari menuruni jembatan yang berbentuk busur itu setelah ia menyelesaikan kalimatnya.
“hey, kau mau kemana?”
“aku akan mengambil kalung itu.” Jawab Chanyeol tanpa menoleh.
“aish...kalung itu benar-benar merepotkan. Baru kemarin aku menemukannya. Sekarang aku kehilangannya lagi” keluh Chanyeol yang mulai turun ke danau.
“mustahil menemukannya kembali. Kita beli saja yang baru.” Teriak Dara dari atas jembatan.
“kalung itu sangat berharga bagiku. Tidak ada kalung yang seperti itu ditempat lain.”
“kalau begitu, kau bisa mendisain ulang kalung itu, lalu meminta pengrajin perhiasan untuk membuatnya. Ayolah...keluar dari sana!”
            Chanyeol tetap pada pendiriannya. Ia menyusuri danau yang keruh itu. Untuk saja danau itu tidak dalam, hanya sebatas lututnya. Jadi ia tidak perlu basah kuyup di cuaca sedingin ini. ia tdak akan berhenti sampai benda itu kembali ke tangannya.
***

            Chanyeol menggetarkan senar-senar gitarnya mengunakan ujung kukunya. Sesekali ia berhenti dan menuliskan nada yang menurutnya cocok untuk syair buatannya. Tapi kegiatannya tidak berjalan mulus. Ia mencoret-coret buku lagunya, merobek lembarannya, meremasnya, lalu membuangannya sembarang. Entah sudah berapa kertas yang berserakan dilantai. Otaknya buntu. Tidak ada inspirasi sama sekali. Kenapa?
            Sudah cukup. Tidak ada gunanya jika dilanjutkan. Chanyeol menurunkan gitarnya dari pangkuannya. Melelahkan. Sudut mata Chanyeol menangkap siluet alat musik yang terletak di meja paling ujung ruang musik. Sebuah biola. Ia jadi teringat gadis berparas mungil itu. Seringkali Rachel datang menemuinya disini. Untuk adu kemampuan bermain musik atau hanya sekedar mendengarkan Chanyeol latihan. Tapi sudah beberapa hari terakhir ini, gadis itu tidak menampakkan diri dihadapan Chanyeol.
            Secara tidak langsung dan tanpa Chanyeol sadari, gadis itu memiliki pengaruh dalam kegiatan bermusiknya. Sebelum Rachel menghilang dari pandangannya, Chanyeol selalu bisa menyelesaikan lagu-lagunya. Ia tidak pernah kehabisan ide. Apakah ia menyadari, jika Rachel adalah sumber inspirasinya? Ayolah Chanyeol, sadarlah!
Carilah yeoja yang bisa menghargaimu dan semua yang kau miliki.
mustahil menemukannya kembali. Kita beli saja yang baru.
sesuatu yang kau anggap berharga....menurutku juga begitu.
Kalimat yang diucapkan kakak perempuannya, Dara dan Rachel, beriringan mengitari pikiran chanyeol. Kini ia mengerti garis nasib yang diberikan padanya. Siapa gadis yang menghargainya, siapa gadis yang yang tulus mencintainya dan siapa gadis yang pantas ia sayangi. Chanyeol tahu jawabannya.
~skip~

            Akhirnya sampai juga. Napasnya memburu dan debar jantungnya tak karuan. Chanyeol baru saja berlari dari halte bus ke kediaman Rachel. Semoga belum terlambat, harap Chanyeol. Krystal mengatakan bahwa Rachel akan pergi ke luar negeri hari ini untuk waktu yang lama. Itu alasannya kenapa Chanyeol berlari layaknya atlit maraton yang berambisi meraih juara satu. Setelah berhasil mengatur napasnya, Chanyeol menekan tombol intercome rumah Rachel. Seorang wanita yang diperkirakan berusia 40 tahun yang diyakininya sebagai asisten rumah tangga keluarga Rachel berbicara di intercome.
“Annyeong Haseyo, apakah Rachel ada di rumah?”
“nona Rachel sedang pergi.”
“eoh... kamsahamnida, maaf mengganggu.” Terselip kekecewaan di wajah Chanyeol saat mengetahui gadis itu sudah pergi. Harapannya pupus. Ia sudah terlambat. Apakah ia tidak punya kesempatan untuk mengatakan yang sebenarnya?
“kau sedang apa?”
Chanyeol berbalik. “Rachel....” gumamnya. “kukira kau sudah pergi keluar negeri.
“luar negeri?” kata Rachel dengan alis yang mengkerut ke dalam.
“iya, Krystal yang mengatakannya. Dia bilang kau akan pergi hari ini.”
“hahahah....kau sudah ditipu olehnya.” Rachel terkekeh. “hari ini aku memang pergi ke bandara, tapi aku tidak  berniat ke luar negeri. Aku hanya mengantar bibiku saja.” Sambungnya.
            Niat sekali  Krystal mengerjai Chanyeol. Gadis itu pasti kesal dengan sikap Chanyeol yang telah tega menolak cinta sahabatnya, Rachel. Kembali ke pokok permasalahan! Chanyeol belum menjawab pertanyaan Rachel. Gadis itu masih menunggu jawabannya. Itu pasti. Jadi, ada perlu apa pria itu datang kerumahnya?
“aku ingin mengatakan sesuatu.” Kata Chanyeol akhirnya. Ia menatap sepasang mata coklat Rachel. Walaupun gadis itu tidak mengeluarkan suaranya, tapi Chanyeol tahu jika Rachel sedang menunggu kelanjutan ucapannya dengan wajah penuh tanya. “tanggal 26 januari 2015 di halte bus dekat sekolah. Apapun yang aku katakan waktu itu padamu, aku menyesalinya. Andai aku bisa menarik kata-kataku. Tapi, aku hanyalah manusia biasa yang tidak mampu memutar waktu ke masa lalu.”
            Chanyeol menundukkan kepalanya. Ini salahnya karena baru mengakui perasaannya. Banyak orang yang mengatakan cinta itu buta. Namun, ada kalanya cinta juga butuh logika. Selama ini Chanyeol telah dibutakan oleh cinta seorang gadis bernama Sandara. Sampai ia tidak bisa melihatt ketulusan hati Rachel.
            Rachel mengerti. Tanggal 26 januari 2015 adalah waktu dimana ia mengajak pria itu untuk menjadi kekasihnya. Dia bilang menyesal? Ingin menarik kata-katanya? Itu berarti... siapa saja tolong cubit pipiku. Apakah ini mimpi?kata Rachel dalam pikirannya. Ia merengkuh tubuh Chanyeol. Rachel tidak peduli apakah ini mimpi atau bukan, dunia mimpi atau dunia nyata, ia akan tetap melakukan hal yang sama, yaitu memeluk pria itu dengan erat.
“mungkin dimatamu, aku adalah yeoja yang tidak tahu malu, tapi aku tidak dapat menahan diri untuk tidak memelukmu. Aku sangat senang, kau bisa membuka hatimu untuk menerimaku. Gomawoyo.”
            Rachel berbicara tepat di sebelah telinga Chanyeol. Tak ada komentar dari pria itu. Chanyeol hanya semakin mempererat tautan mereka. Menurutnya, perasaannya saat ini, sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata.
Aku ingin bersandar di dadanya yang bidang, untuk mendengarkan nada indah yang mengalun dengan teratur. Aku ingin merengkuh pinggangnya, untuk merasakan kehangatan dan menunjukkan jika dia adalah milikku. Aku ingin merangkul bahunya yang lebar, untuk mengukur seberapa kuat dia dalam menanggung tanggung jawab atas diriku. Aku ingin mencium keningnya, untuk membuktikan jika aku benar-benar menyayanginya. Aku ingin meingisi ruang kosong di jemarimnya dengan jemariku, menggenggamnya erat, tanpa ada niat untuk melepasnya. Menjaga janji kami  diantara tautan tangan yang  tak dibatasi oleh jarak. Dan aku ingin terlelap tenang dengan kedua tangannya yang melingkar ditubuhku. Aku ingin kau seutuhnya. Park Chanyeol. Rachel.

~The End~